Salah satu lapak milik warga di pesisir pantai yang dipindah dan akan dijadikan tempat sandar perahu oleh nelayan di Montong Buwuh
LOMBOK BARAT - Pemanfaatan sempadan pantai di Dusun Montong Buwuh, Desa Meninting, Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat (Lobar) menimbulkan persoalan. Menyusul, lapak yang sudah lama berada di kawasan itu dipindah oleh pengelola lahan. Seperti kasus yang menimpa Inaq Sur. Tidak itu saja, kini para nelayan Montong Buwuh tidak diizinkan untuk menyandatkan perahu.
Camat Batulayar, H. Muh. Subayin Fikri menyebutkan, sebagai bentuk larangan nelayan Montong Buwuh untuk menyandarkan perahu mereka di sempadan pantai, pihak Lagonbay menyiagakan aparat keamanan.
”Ada aparat yang jaga, seolah ada kejadian apa. Jadi nelayan takut untuk bersandar,” kata Camat Batulayar Muh Subayin Fikri belum lama ini.
Subayin menjelaskan, nelayan di pesisir pantai Montong Buwuh ini sangat padat. Sehingga, perahu-perahu mereka menumpuk terparkir di sebelah utara pantai karena sisi selatan sudah terkena abrasi.
Namun, pihak Lagonbay melarang nelayan untuk memanfaatkan lahan tersebut. Dengan dalih bahwa wilayah sempadan pantai tersebut adalah milik Lagonbay dengan sertifikat.
”Dulu lahan itu digunakan sebagai lapak, sekarang sudah kosong karena lapak sudah dibersihkan. Tapi perusahaan yang tidak memberi itu. Kan serba salah nelayan disini,” bebernya.
Dikatakan Subayin, pihaknya sudah memanggil pihak Lagonbay untuk bermusyawarah dengan masyarakat dan nelayan. Namun, pihak Lagonbay tidak pernah datang dalam undangan pertemuan tersebut.
”Mereka tidak pernah mau datang. Padahal kan saya mau mencari win win solution. Tapi sampai saat ini ngambang saja,” terangnya.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lombok Barat (Lobar), Lalu Suharli menjelaskan ini adalah dua hal yang berbeda. Bahwa sertifikat itu adalah hak untuk tanah. Sedangkan untuk kawasan sempadan pantai adalah tentang pemanfaatan dan penggunaan tanah.
”Siapapun boleh membangun. Tapi jenis bangunannya harus jelas,” tegasnya.
Suharli menjelaskan kawasan sempadan pantai terbagi menjadi dua, yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Hal ini juga diatur sesuai dengan karakteristiknya.
Seperti ekosistem laut, bencana alam, dan akses publik untuk wisata.
"Itulah yang harus diatur dan dilengkapi dengan perizinan. Contohnya orang akan bangun hotel dengan kolam renang pinggir pantai. Ya, mereka harus membuat pemecah ombak, ini yang harus diatur,” paparnya.
Pria berbadan tinggi ini memberikan contoh, jika seseorang memiliki tanah di kawasan sempadan pantai, kemudian ingin melakukan pembangunan maka ada aturan teknisnya. Koefisien bangunan yang boleh dibangun di sempadan pantai itu 20 persen.
”Maka 20 persen dari luas tanah itu yang boleh dibangun. Yang lain tidak boleh. Jenis bangunannya apa, kalau beton paku bumi untuk lantai 20 ya tidak bisa,” terangnya.
Suharli mengkhawatirkan kejadian yang sama akan terus terjadi di kawasan pesisir pantai Lobar, jika tidak ada penyelesaian.
Karena dari Pantai Senggigi sampai Pantai Nipah semua lapak berdiri di atas tanah orang lain. Sehingga, Pemkab Lobar mestinya membuat zonasi untuk relokasi pedagang agar pengelolaan dan retribusi lebih tertata.
“Nah ini memang menjadi PR kita kedepan. Selama ini mereka tumbuh sendiri,” pungkasnya.
Terpisah, Pj Sekda Lobar Fauzan Husniadi mengatakan,akan segera memanggil pihak pengembang Lagonbay, agar kedua belah pihak, antara pengembang dan nelayan mendapatkan solusi.
”Jadi kami akan mengambil langkah cepat. Termasuk juga membicarakan hal tersebut dengan Bakesbangpol, Bappeda, dan pihak kecamatan,” tandasnya. (SN).
Komentar0