Anak Yang Naik Jaran Kamput Keliling Kampung Jelang Khitanan di Dusun Loco
LOMBOK BARAT- Suara tabuhan Gendang Beleq mengiringi jaran kamput (Kuda yang terbuat dari kayu). Diatas jaran yang diangkat oleh empat orang tersebut, terdapat anak-anak yang akan dikhitan. Oleh masyarakat suku Sasak di pulau Lombok, menyebutnya dengan sebutan Praja.
Anak diarak keliling untuk menghibur agar tidak menangis saat disunat. Dan, kegiatan ini seringkali dilakukan jika ada acara khitanan. Seperti yang terlihat di dusun Loco, Desa Senggigi, Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat pada Sabtu sore (03/02/2024).
Serombongan orang berjalan menyusuri jalan raya Senggigi sambil membawa gendang sebagai alat musik tabuh dan memikul anak kecil. Sedangkan di tepi jalan, warga berdiri menyaksikan sambil bersorak gembira.
Serombongan orang itu sedang mempertahankan tradisi leluhur mereka. Itulah arak-arakan Praja untuk menyambut anak laki-laki yang akan disunat atau dikhitan sebagai tanda menginjak besar.
Kegiatan (arak-arakan Praja) ini dilakukan selama dua hari. Hari pertama sebelum dikhitan, maka anak tersebut harus di arak keliling kampung, hal itu agar masyarakat tahu jika sang anak nantinya akan dikhitan. Pada hari kedua, anak tersebut kembali diarak untuk menghibur sang anak agar tidak menangis saat disunat.
Menurut penuturan para tokoh masyarakat yang ada di desa Senggigi, tradisi arak-arakan Praja ini sebenarnya melambangkan sebagai bentuk kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Secara aturan tertulis ataupun adat, sebenarnya tidak ada yang mengharuskan warga untuk menggunakan Praja atau jaran kamput tersebut saat melakukan sunatan. Hanya saja, ini merupakan kebiasaan yang sudah turun temurun yang menjadi peninggalan nenek moyang terdahulu, sehingga para berupaya untuk melestarikannya supaya anak cucu nantinya dapat meneruskannya.
Masyarakat yang lainpun juga ikut antusias mengiringi arak- arakan itu dengan menggunakan baju adat Sasak. Tentunya ini juga sebagai ajang hiburan bagi masyarakat Senggigi dan sekitarnya jika ada yang sunatan.
Dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kepala Desa Senggigi, Mastur mendukung dan terus berusaha melestarikan kearifan lokal, yang salah satunya adalah Praja ini. Menurut dia, selain untuk menjaga warisan budaya nenek moyang terdahulu, di satu sisi hal itu juga sebagai upaya untuk mengangkat minat para wisatawan untuk datang ke desa Senggigi.
“Termasuk Praja saat sunatan ini memang selalu digunakan di tengah masyarakat. Dan ini salah satu daya tarik bagi para wisatawan,” katanya.
Mastur berharap agar tradisi -tradisi terdahulu yang mulai jarang dilakukan oleh warga supaya diangkat kembali. Hal ini bertujuan agar tradisi tersebut dikenal oleh masyarakat luas,baik nasional maupun internasional.
"Gali semua potensi tradisi kita untuk menjadi attraction di kawasan wisata Desa Senggigi ini," pungkasnya. (mad).
Komentar0